KETIKA
KU BERANJAK DEWASA
“Manda,
jangan lupa bawa sepatu hitam, kaos polo, dan baju dalam yang banyak. Sepulang
dari ospek, harus langsung ganti baju, mandi, dan cuci semua pakaianmu. Ingat,
ibu nggak akan ada di sisi kamu lagi buat ngebantuin kamu. Kamu harus berjuang
dan bertanggung jawab atas dirimu sendiri.”
Itu
kata-kata Ibu Manda sebelum Manda berangkat ospek pagi ini. Ibu Manda kebetulan
akan pulang ke Cilacap siang hari nanti, sebelum Manda pulang ke kos. Beliau
menemani putrinya selama dua hari di kos untuk mengajarinya segala macam
sesuatu yang harus dilakukan ketika hidup jauh dari orang tua.
“Di
kos nanti nggak ada yang ngawasin kamu. Paling cuma Om Irwan dan Tante Devi,
tapi mereka berdua kan juga sibuk mengurus anak-anak mereka. Kamu juga nggak
bisa terus bergantung sama mereka. Jangan manja. Pokoknya harus mandiri,” Manda
bersiul malas saat ibunya dengan cerewet menasihatinya. Apa yang bagi ibunya
merupakan hal yang serius, tetapi bagi Manda hal itu hanya masuk telinga kanan,
keluar telinga kiri.
“Iya,
iya, berisik ah. Aku lagi sibuk tata-tata nih buat ospek besok. Belum bikin
co-card, belum juga laminating pita, dan sebagainya. Ibu dari tadi hanya
ngomong melulu tanpa bantuin Manda,”keluh gadis berambut ikal sebahu itu.
“Loh?
Itu tugas kamu atau tugas ibu? Kamu kan yang kuliah, kenapa ibu juga ikutan
repot? Kebetulan aja Ibu masih disini, jadi masih bisa bantuin kamu. Coba kalau
ibu pergi. Kamu emang mau minta tolong dan nyolot sama siapa?” Ibu Manda
sebenarnya tak serius dengan perkataannya. Ia hanya ingin membuat putri semata
wayangnya itu sadar bahwa tidak selamanya sang Ibu akan terus mengasuhnya dan
memanjakannya seperti bayi. Namun, Manda justru menanggapi itu dengan sangat
serius, terlebih pikirannya sedang kalut mencari beberapa bahan dan peralatan
yang akan digunakan untuk membuat co card.
Manda
pun menyahut dengan marah, “Kalau ibu gak mau bantuin, ya udah, sana ibu pulang
aja ke rumah. Ga usah nemenin Manda di sini!”
Ibu
Manda pun melotot marah mendengar perkataan putrinya, tetapi apadaya, dia tak
pernah bisa memarahi putri semata wayangnya itu. Dia keterlaluan sayang
padanya. Mungkin itulah letak kesalahannya yang membuat Manda menjadi gadis
yang egois dan semaunya sendiri seperti Manda.
Manda
akhirnya membuat segala macam perlengkapan ospek sendirian. Meskipun ada banyak
kakak tingkat dalam kos-kosan itu, tetapi Manda bertekad dia tak butuh bantuan
siapapun. Sifat egoisnya membuatnya menjadi sosok yang gigih namun rapuh di
saat yang bersamaan.
Keesokan
paginya, jam weker Manda berdering sangat nyaring dan begitu memekakkan
telinga. Manda meraung kesal dan menutup telinganya dengan bantal. Ibu Manda
pun terpaksa menghentikan tidurnya untuk membangunkan Manda.
“Mandaaa!!
Banguun Manda!! Ini sudah pukul berapa?! Kamu bisa dihukum kakak tingkat kalau
kamu telat!”
Manda
mendengus kesal, “Sebentar lagi, Bu. Tadi malam aku sangat mengantuk. Pekerjaan
dan tugas-tugas itu begitu menyitaku. Aku capek, please, satu menit lagi?!”
“Lebih
baik kamu berangkat lebih pagi dibandingkan kamu dihukum!” Ibunya
memperingatkan dengan nada tak kalah ketus.
Manda
akhirnya bangun dengan malas-malasan. Nyawanya kemana, tubuhnya kemana,
nampaknya mereka belum menyatu dengan sempurna dalam diri Manda. Dia begitu
lelah mengerjakan semua tugas-tugas dari kakak pembinanya. Sungguh kasihan
Manda.
--------
“Ayo
makan disini,” Ibunya menunjukkan sebuah warung makan yang berada tak jauh dari
kos Manda. Gadis itu memang ngaret dari waktu yang sudah dia jadwalkan sendiri
di memo-nya. Rambutnya yang ikal itu belum sempat ia sisir, tasnya belum ter-resleting sempurna, dan kemejanya pun
masih acak-acakan. Ibunya hanya menggelengkan kepala heran melihat penampilan
putrinya.
Apa
jadinya jika dia meninggalkannya hidup sendiri di kos?
Apakah
keadaan putrinya yang manja itu akan tampak semakin berantakan?
“Kamu
cepat makannya, nanti biar Ibu saja yang bayar. Nanti kamu cari ojek di depan
gerbang kampus. Siapkan aja uang lima ribu. Ingat, selalu siapkan uang lima ribu.”
Manda
sibuk makan dengan cepat karena diburu waktu. Jamnya menunjukkan pukul 05.45. Lagi-lagi,
entah untuk kesejuta kalinya, gadis itu menghiraukan perkataan ibunya.
“Udah,
Bu. Aku berangkat dulu,” Manda langsung meneguk air putih dengan cepat.
Kemudian, tanpa sempat menyalami tangan ibunya, anak penyuka warna biru muda
itu langsung lari tergesa-gesa menuju depan gerbang kampusnya. Kebetulan
kampusnya berada tepat di samping gerbang kampus.
“Manda,
ibu nanti pulang jam 1 siang. Ingat ya, apa semua yang ibu pesenkan sama kamu.
Ibu nggak bisa lama-lama ada di sini. Ibu harus ngantor, besok ada rapat
penting. Nanti kuncinya ibu titipkan sama Mbak Safira. Oya, kamu udah bawa
co-cardnya? Tadi ibu lihat masih di meja....”
“Udah
kok, Bu.” Sahut Manda ketus sambil berlari meninggalkan ibunya menuju depan
gerbang kampus.
Ibunya
lagi-lagi hanya bisa menghela napas.
-------
“Sial,
kenapa nggak ada ojek di sini? Katanya Ibu biasanya ojek di sini?” Manda celingukan
mencari ojek yang biasanya bersliweran di sekitar sini.
Sudah
lima menit gadis itu mencari. Jam tangannya sudah menunjukkan pukul 6 lebih.
“Waduh,
gawat, bisa-bisa aku kena damprat kakak tingkat,” keluh Manda kebingungan dalam
hati.
Akhirnya
Manda memutuskan untuk berlari saja. Mumpung tenaganya masih cukup untuk
memburu waktu yang takkan mungkin berhenti berdetak. Kebetulan gedung
fakultasnya agak jauh dari gerbang depan. Deru napas Manda terdengar memburu
saat berlari kencang menerobos kerumunan mahasiswa baru lain yang juga sedang
berlari-larian.
---------
“Yang
telat berdiri di samping saya, dan harap mengenakan co-card sesuai dengan
peraturan yang berlaku.”
Manda
kebingungan mencari co-card miliknya di dalam tas. Kakak pembina terus
memelototinya ketika mengetahui bahwa adik tingkatnya itu nampak gugup mencari
sesuatu.
“Udah
ketemu dek?” kata kakak itu dengan nada agak ketus. Manda justru semakin gugup
mendengar kata-kata itu. Dia makin mengacak-acak isi tasnya.
“Yang
tidak membawa co-card silahkan berdiri di depan gedung fakultas teknik sampai
jam satu siang.”
Deg! Bagaimana kakak itu bisa tahu? Keluh Manda dalam hati. Akhirnya gadis itu
dengan wajah sendu melangkah maju ke depan menghadap kakak tingkat.
“Kenapa
dek? Mau ngasih alasan?” geram kakak itu sambil melipat kedua tangan.
Dengan
gugup, Manda menggeleng dan melangkah sambil menahan tangis menuju lapangan.
Saat
dihukum, Manda menyadari kesalahannya. Dia sudah bersalah pada ibunya. Karena
kelalaiannya, ia justru menyalahkan ibunya sendiri.
Ia
pun ingat perkataan sang Ibu sebelum dia terburu-buru pergi
“Manda, tadi ibu lihat co-cardmu masih di meja...”
“Meja
makan!” isak Manda tanpa sadar dan membuat mahasiswa yang sedang dihukum
bersamanya terheran-heran.
Ah, ibu kumohon, maafkan aku...
Dan
saat Manda pulang, ibunya sudah benar-benar tak ada. Ibunya sudah kembali ke
rumahnya di Cilacap. Manda tak sadar meneteskan air mata, mengingat semua
kekurang-ajaran dan kearogansiannya terhadap sang bunda. Sekarang dia sendiri,
benar-benar sendiri...
Dan
dia bertekad untuk membuat perubahan dalam dirinya sendiri.
Keesokan
harinya, Manda bangun sangat awal, pukul 4 pagi. Tiba-tiba ia mendengar
ponselnya berdering dan menemukan sebuah SMS dari sang ibu.
“Manda, ibu tak mempermasalahkan
betapa kamu sangat tidak menyukai diatur oleh ibu, tapi itu semua kulakukan
demi kebaikanmu. Karena tak selamanya ibu bisa menemani kamu. Jaga dirimu baik-baik,
bersikaplah lebih dewasa dan bertanggung jawab terhadap apapun. Perubahan
dimulai dari dirimu sendiri. Kalau kamu tak mau berubah, bagaimana kamu bisa
meraih apa yang kamu inginkan.”
Manda
merasakan penyesalan terdalam setelah membaca pesan dari ibunya. Kini ia sadar
bahwa belum terlambat untuk melakukan perubahan dan itu dimulai dari dirinya
sendiri. Ia pun bertekad untuk merubah sifat manja dan kekanakannya itu. Ia
ingin menjadi lebih baik.
“Aku
berjanji Ibu, takkan mengecewakan Ibu. Aku akan berubah,” ikrar Manda dalam
hati.
Dan
setelah itu, ia benar-benar berubah menjadi sosok yang dewasa seperti yang
diinginkan ibunya.